Dalam menjalankan usahanya, perusahaan melakukan beberapa keputusan dan tindakan bisnis demi kelangsungan usahanya yang dapat mempengaruhi jumlah dan harga saham, hal tersebut dikenal juga dengan istilah aksi korporasi atau corporate action (Francis Groves, 2008). Beberapa keputusan yang dapat dianggap sebagai corporate action yakni, right issue, stock split, pembagian bonus shares, dan pembagian dividen dalam bentuk stock atau yang dikenal juga dengan stock dividend, maupun dalam bentuk cash yaitu cash dividend (Irmayani dan Wiagustini, 2015).
Stock split merupakan salah satu aksi korporasi yang bertujuan untuk menaikan gairah pasar terhadap nilai suatu perusahaan dengan cara memecah satu saham menjadi beberapa saham. Dalam stock split, satu lembar saham dibagi menjadi beberapa lembar saham, sehingga harga dari selembar saham menjadi lebih terjangkau dan dapat menjangkau lebih banyak investor. Stock split diyakini dapat menarik investor dan meningkatkan jumlah pemegang saham pada perusahaan dengan cara mengurangi harga saham. Bahwa, dengan harga saham yang lebih rendah, saham dapat dijangkau oleh investor-investor kecil atau perseorangan daripada investor besar atau yang sudah berbentuk institusi (Baker dan Gallagher, 1980). Di sisi lain, pembelian saham atas sebuah perusahaan juga dapat meningkatkan sense of belonging oleh seseorang. Sehingga, jumlah pemegang saham pada perusahaan tersebut dapat bertambah dan juga memicu rasa kepemilikan atas perusahaan tersebut secara kolektif.
Secara teori, stock split tidak memberikan dampak pada investor, melainkan mengubah komposisi dari saham. Namun, dengan diadakannya stock split yang menghasilkan harga tiap lembar saham menurun, maka dari sudut pandang finansial diharapkan saham perusahaan dapat dibeli oleh investor perseorangan, sehingga menurunkan persentase kepemilikan saham oleh institusi (Baker dan Gallagher, 1980).
Salah satu hal yang dianggap atraktif oleh para investor dalam stock split adalah kemungkinan adanya abnormal return. Abnormal return merupakan kelebihan atas actual return, sehingga investor mendapatkan return lebih dari apa yang diharapkan atau proyeksikan sebelumnya (Jogiyanto, 2019). Pada praktiknya, peristiwa abnormal return tidak selalu terjadi pada pelaksanaan stock split. Terdapat inkonsistensi terhadap kesimpulan atas penelitian-penelitian terkait abnormal return pada saat stock split. Sehingga, investor sebaiknya tidak menggunakan kemungkinan adanya abnormal return sebagai alasan tunggal dalam melakukan investasi pada perusahaan yang melakukan stock split.
Dari sisi hukum, Indonesia belum memiliki payung hukum yang dapat melindungi pelaksanaan stock split secara spesifik. Namun, stock split disinggung di dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.04/2015 tentang Keterbukaan atas Informasi atau Fakta Material oleh Emiten atau Perusahaan Publik (POJK No. 31/POJK.04/2015), Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 6 (d) yakni, penggabungan saham (stock split) yang termasuk sebagai laporan Informasi atau Fakta Material wajib disampaikan oleh Emiten atau Perusahaan Publik kepada Otoritas Jasa Keuangan dan melakukan pengumuman kepada masyarakat. Stock split juga disinggung pada Surat Keputusan Direksi PT Bursa Efek Indonesia Nomor Kep-00183/BEI/12-2018 tentang Perubahan Peraturan Nomor I-A tentang Pencatatan Saham dan Efek Bersifat Ekuitas Selain Saham yang Diterbitkan oleh Perusahaan Tercatat yang menyatakan bahwa Perusahaan dilarang melakukan stock split dalam jangka waktu 12 bulan sejak saham Perusahaan tersebut dicatatkan di Bursa untuk pertama kalinya, ataupun sejak Perusahaan tersebut melakukan stock split terakhir.
Merujuk pada matriks rancangan Peraturan OJK (RPOJK) yang telah dipublikasikan, ditemukan bahwa trend stock split mengalami peningkatan yang signifikan pada periode 2017-2021. Oleh karena itu, OJK sedang melakukan perancangan terkait peraturan stock split secara spesifik demi memberikan kepastian hukum dan melindungi hak-hak dari para shareholders.
Leave A Comment