Non Competition Clause adalah sebuah klausul yang mengatur bahwa karyawan setuju untuk tidak akan bekerja sebagai karyawan atau agen perusahaan yang dianggap sebagai pesaing atau bergerak pada bidang usaha yang sama untuk periode atau jangka waktu tertentu setelah tanggal pemberhentian atau pemutusan Hubungan kerja. Klausul ini seringkali ditemukan di dalam perjanjian kerja, dengan tujuan untuk mencegah karyawan di dalam perusahaan membocorkan rahasia dagang perusahaan yang dapat berpotensi menjadi persaingan dan merugikan perusahaan.
Bila dipandang melalui Perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), tentunya Non competition Clause adalah sebuah pembatasan Hak kepada pekerja yang dapat melanggar ketentuan Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”), yang berbunyi:
“Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan”
Jadi, dapat disimpulkan bawa pencantuman Non Competition Clause telah melanggar UU HAM. Dalam KUHPerdata sendiri mengatur mengenai hal yang memiliki kemiripan dengan pengertian Non Competition Clause, yaitu suatu perjanjian yang berlaku terhadap pihaknya setelah berakhirnya suatu hubungan kerja atau dikenal dengan nama perjanjian kerja persaingan (Concutentie Beding). Pengertian perjanjian kerja persaingan ini diatur dalam Pasal 1601 KUHPerdata, yang berbunyi:
“Suatu janji antara si majikan dan si buruh, dengan mana pihak yang belakangan ini dibatasi dalam kekuasaannya untuk setelah berakhirnya hubungan kerja melakukan pekerjaan dengan suatu cara, hanyalah sah apabila janji itu dibuat dalam suatu perjanjian tertulis atau dalam suatu reglemen, dengan seorang buruh dewasa”
Dari pengertian di atas dapat disimpukan bahwa KUHPerdata memperbolehkan adanya perjanjian yang memiliki pembatasan kekuasaan terhadap suatu pihak setelah berakhirnya hubungan kerja. Namun pembatasan tersebut juga tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia, khususnya Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa terjadi sebuah tumpang tindih hukum antara ketentuan Undang- Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia terhadap KUHPerdata, dan juga kita bisa melihat ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata dijelaskan bahwa terdapat syarat-syarat dari sebuah perjanjian sebagai berikut:
- Kesepakatan para pihak;
- Kecakapan hukum;
- Objek yang diperjanjikan;
- Adanya causa yang halal.
Berangkat dari hal tersebut, maka dapat dilihat bahwa Non competition Clause tidak memenuhi ketentuan di dalam syarat perjanjian di dalam poin ke-4 yakni adanya causa yang halal. Lebih lanjut, dengan diberlakukannya asas lex specialis derogat legi generali, menggambarkan bahwa di dalam Undang-Undang HAM dan Undang-Undang Ketenagakerjaan lebih khusus apabila dibandingkan dengan KUHPerdata. Sehingga dengan adanya klausul Non competition Clause di dalam sebuah perjanjian kerja, maka dapat dikatakan perjanjian tersebut batal demi hukum. Adapun arti batal demi hukum adalah perjanjian : 1) Dianggap tidak pernah ada; 2) Tidak mempunyai kekuatan dan akibat hukum; 3) Dikarenakan perjanjian tidak memiliki kekuatan hujum mengikat atau tidak berlaku, maka tidak perlu adanya permohonan pembatalan kepada pengadilan.
Namun, hingga saat ini belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyimpangi dari keabsahan pencatuman klausul ini, maka Non competition Clause untuk saat ini tidak dapat diterapkan di Indonesia karena bertentangan dengan hukum positif yang ada.
Selamat sore,
Izin bertanya,
Jika udah terlanjur tanda tangan kontrak apakah pasal non-kompetisi itu ototmatis telah berlaku bagi kedua belah pihak, meski secara hubum tidak kuat?
Terima kasih
Berdasarkan pertanyaan yang diajukan oleh saudara, terkait dengan penandatanganan Kontrak yang terdapat non competition clause. Dijelaskan menurut menurut pasal 1320 KUH Perdata terdapat syarat-syarat sah nya suatu perjanjian yang telah dijelaskan dalam artikel diatas, yang mana ketentuan non competition clause adalah dilarang oleh Undang-Undang yang berlaku di Indonesia. Oleh karena hal tersebut ketentuan di dalam pasal 1320 KUH Perdata poin ke-4 tidak dapat terpenuhi dan perjanjian tersebut menjadi tidak sah walaupun sudah ditandatangani sebelumnya karena perjanjian tersebut sudah batal demi hukum.