Perubahan atas ketentuan pada kontrak konstruksi bukan hal yang luar biasa, atau dapat disamakan ke-luarbiasa-annya dengan kontrak-kontrak pada umumnya.Hal ini merujuk pada variable kontrak konstruksi yang sangat beragam dan kompleks. Ditambah pula dengan kondisi-kondisi eksternal kontrak yang seringkali mempengaruhi keberlangsungan kontrak (misalnya pelaksanaan pekerjaan proyek yang dilakukan oleh Direct Contractor yang bekerja sinergis dengan pekerjaan kontraktor).
Pula, perlu disadari bahwa tidaklahsedikit perusahaan pemerintah (dengan bentuk badan usaha milik Negara ataupun badan usaha milik daerah), yang menggelar pengadaan jasa pemerintah berupa jasa konstruksi. Hal demikian menyebabkan implementasi Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 sangatlah dekat dengan masyarakat. Tidak sekedar Undang-Undang Nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi yang mengatur hanya terkait dan terkhusus atas dunia konstruksi.
Kontrak dengan cara lump sum merupakan salah satu kontrak yang diakui jenisnya berdasarkan Pasal 50 ayat 3 Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 (“Perpres 54/2010”). Klasifikasi sebagai kontrak lump sum adalah merujuk pada cara pembayaran pekerjaan tersebut yang dilaksanakan dengan cara lump sum atau sekaligus bayar. Cara lain yang diakui adalah kontrak harga satuan, kontrak campuran lump sum dan harga satuan, kontrak prosentase dan kontrak terima jadi.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 51 Perpres 54/2010, dipertegas dan diperjelas bahwa kontrak lump sum tersebut merupakan kontrak atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu, dengan menentukan dengan rinci jumlah harga secara pasti dan tetap (sehingga tidak dimungkinkan penyesuaian harga), penanggungan resiko yang sepenuhnya ditanggung oleh penyedia jasa, tahapan pembayaran, sifat pekerjaan, total harga penawaran (yang sifatnya mengikat), serta tidak diperbolehkan adanya pekerjaan tambahkurang.
Dengan ketentuan Pasal 51 Perpres 54/2010 tersebut, dapat disimpulkan bahwa pekerjaan tambah kurang tidak diperbolehkan dalam kontrak lump sum. Namun, sebagian pihak menganggap bahwa jika memang tidak boleh di-tambah/kurang-kan, maka kontraklah yang diubah ketentuannya (dikenal dengan amandemen atau addendum perjanjian).
Sedangkan ketentuan tentang perubahan kontrak diatur dan ditentukan dalam Pasal 87 Perpres 54/2010, tentang cara melakukan perubahan kontrak. Dalam ketentuan tersebut sama sekali tidak disinggung atau disebutkan adanya larangan perubahan terhadap kontrak lump sum. Bahkan dinyatakan bahwa semua kontrak dapat diubah dengan ketentuan terkait volume pekerjaan, serta perubahan administrasi. Hal demikian tidak dinyatakan apakah Pasal 87 mengesampingkan Pasal 51 atau seiring dengan Pasal 51?
Lalu, jika pekerjaan konstruksi memiliki dinamika perubahan yang cukup tinggi lalu diperkenankan dengan jenis kontrak lump sum? Kontrak lump sum ini sebenarnya melindungi penyedia jasa dari ketidakpastian atau kesewenang-wenangan dari pemberi tugas. Keberadaan kontrak lump sum ini juga sudah diimbangi dengan adanya jasa perencanaan pekerjaan, serta suatu hal yang lazim jika diimplementasikan dalam dunia konstruksi fisik bangunan. Keinginan untuk terus merubah-rubah isi kontrak hanyalah dampak dari kontrak jenis konvensional yang sifatnya elastic dengan kebutuhan di lapangan.
Bagaimana status hukumnya apabila terjadi kasus seperti dibawah ini :
1. Pengguna Jasa memberikan pekerjaan kepada Penyedia Jasa dalam bentuk ikatan kontrak Lump sum Fixed Price .
2. Penyedia Jasa telah menyelesaikan pekerjaannya 100% & diterima oleh Pengguna Jasa
3. Dalam pelaksanaan kontrak terjadi pekerjaan tambah / kurang akibat perubahan design engineering di lapangan
Pertanyaannya :
1. Apakah Pengguna Jasa mempunyai hak untuk menahan pembayaran progres terakhir 100% dan retention 5% yang telah lewat masanya, dengan alasan menunggu pembahasan kerja tambah/kurang selesai?
2, Apakah Penyedia Jasa mempunyai hak untuk mendapatkan bunga atas nilai pembayaran yang di tahan oleh Pengguna Jasa atas item no. 1 tersebut diatas?
Terima kasih.