Suatu Perseroan Terbatas (PT) memerlukan modal untuk dapat memulai kegiatan usahanya. Modal dalam PT terdiri dari 3 jenis modal, yaitu:
- Modal dasar: seluruh nilai nominal saham PT;
- Modal ditempatkan: saham yang telah diambil/di-claim oleh pemegang saham;
- Modal disetor: saham yang telah diambil dan dibayar penuh oleh pemegang saham.
Apabila seseorang telah melakukan penyetoran penuh atas bagian saham yang diambil atau disanggupinya, maka saham dikeluarkan atas nama pemiliknya tersebut. Terhadap setiap saham dalam PT pada dasarnya melekat hak-hak tertentu, seperti hak suara atau hak voting dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), hak atas pendapatan perusahaan berupa dividen, juga hak atas aset perusahaan dalam perusahaan dilikuidasi. Seluruh hak tersebut dimiliki oleh pemegang saham secara proporsional berdasarkan persentase kepemilikan saham pada PT yang bersangkutan.
Seiring dengan berjalannya kegiatan usaha PT, terkadang diperlukan tambahan modal untuk melakukan ekspansi bisnis maupun untuk keperluan lainnya. Modal dalam hal ini dapat diperoleh melalui debt financing berupa pinjaman dari Bank atau lembaga keuangan non-Bank, maupun melalui equity financing, salah satunya dengan melakukan penambahan modal, baik penambahan modal dasar maupun penambahan modal ditempatkan dan disetor.
Penambahan modal PT dilakukan berdasarkan mekanisme dan prosedur sebagaimana diatur dalam Pasal 41-Pasal 43 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja, yaitu:
- Penambahan modal dilakukan berdasarkan persetujuan RUPS;
- Persetujuan RUPS sah apabila memenuhi ketentuan kuorum kehadiran dan persetujuan sebagaimana diatur dalam Pasal 42 UUPT; dan
- Salah yang dikeluarkan untuk penambahan modal terlebih dahulu ditawarkan kepada setiap pemegang saham seimbang dengan pemilikan saham untuk klasifikasi saham yang sama sesuai ketentuan Pasal 43 UUPT.
Ketentuan Pasal 43 UUPT di atas berkaitan dengan konsep preemptive right pemegang saham, yaitu haknya untuk membeli saham dari saham baru yang dikeluarkan oleh PT secara proporsional dengan kepemilikan yang ada sebelum penawaran dilakukan kepada pihak ketiga. Hak ini diberikan kepada pemegang saham pada dasarnya untuk mencegah terjadinya dilusi saham milik pemegang saham lama.
Dilusi adalah turunnya persentase kepemilikan saham akibat bertambahnya jumlah saham yang beredar. Sebagai contoh, dapat diperhatikan ilustrasi berikut:
Modal dasar PT. XYZ adalah 100 juta rupiah. A dan B masing-masing memegang 65% dan 35% saham pada PT. XYZ, senilai 65 juta rupiah dan 35 juta rupiah. Kemudian PT. XYZ melakukan penambahan modal dasar menjadi 500 juta rupiah. Apabila A dan B tidak diberikan kesempatan terlebih dahulu untuk membeli saham baru yang akan dikeluarkan untuk penambahan modal dasar tersebut, maka seluruh saham baru senilai 400 juta rupiah itu dibeli oleh C. Sehingga kini PT. XYZ memiliki modal dasar senilai 500 juta rupiah dengan komposisi pemegang saham:
- A – 65 juta rupiah (13%)
- B – 35 juta rupiah (7%)
- C – 400 juta rupiah (80%)
Dapat dilihat dari ilustrasi tersebut bahwa persentase kepemilikan saham milik A dan B mengalami penurunan dari 65% dan 35% menjadi 13% dan 7%. Hal ini karena persentase saham keduanya terdilusi dengan masuknya C sebagai pemegang saham baru. Dalam kasus ini, pemegang saham mayoritas berubah dari A menjadi C, sehingga sekarang C lah yang menjadi pemegang saham pengendali pada PT. XYZ karena ia memiliki hak suara yang paling besar. Selain itu, dividen untuk A dan B juga berkurang jauh sebab sebelumnya masing-masing mendapatkan 65% dan 35% dari seluruh dividen yang dibagikan, kini mereka hanya menerima 13% dan 7% dari keseluruhan dividen.
Ilustrasi di atas menunjukkan mengapa diperlukan adanya penawaran terlebih dahulu kepada pemegang saham lama untuk membeli saham baru yang akan dikeluarkan. Yaitu agar pemegang saham lama dapat mempertahankan persentase kepemilikan sahamnya dan mempertahankan besaran haknya yang melekat pada saham tersebut.
Leave A Comment