Secara umum, wasiat di Indonesia terdapat 4 macam, yakni : wasiat umum (Pasal 938 KUHPerdata), wasiat olografis (Pasal 931-934 KUHPerdata), wasiat rahasia (Pasal 940 KUHPerdata) dan surat codicile. Dari keempat macam wasiat tersebut, hanya wasiat umum saja yang merupakan akta otentik, sisanya merupakan surat di bawah tangan.
Walaupun sudah ternyata dengan jelas tentang ragam dokumen wasiat yang diakui dalam Hukum Waris di Indonesia, namun sayangnya kenyataan di masyarakat masih sering mempertanyakan tentang “Amanah Lisan”, “Surat Wasiat Lisan di Hadapan Saksi” atau “Wasiat Tertulis yang Tidak Dibubuhi Tandatangan”. Hal ini cukup disayangkan, melihat pengaturan tentang wasiat sudah eksis sejak sebelum Indonesia merdeka.
Hukum yang mengatur tentang orang perorang dan keluarga di Indonesia bukan hanya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, namun juga Kompilasi Hukum Islam (termasuk pula Peradilan Agama) dan Hukum Adat yang hidup dalam masyarakat.
Pada hukum Islam, sumber yang mengatur tentang wasiat ternyata dalam surat kedua (Al Baqarah) ayat 180, yang berisi bahwa :
“Diwajibkan atas kamu, apabila diantara seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu, bapak, dan karib kerabatnya secara ma’uf (ini adalah) kewajiban orang-orang yang bertaqwa”.
Sebagai implementasinya, menurut Pasal 195 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam, disebutkan bahwa wasiat kepada ahli waris masih memungkinkan dengan syarat mendapat persetujuan dari ahli waris.
Dalam Pasal 195 KHI tersebut, terdapat syarat-syarat wasiat, yakni dilakukan secara lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi, atau tertulis di hadapan 2 (dua) orang saksi atau di hadapan Notaris. Serta wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya 1/3 dari seluruh harta warisan, kecuali jika disetujui oleh ahli waris. Bahwasannya menurut KHI, wasiat berlaku jika disetujui oleh semua ahli waris.
Untuk itu, keabsahan wasiat lisan sebenarnya adalah jika dilakukan di hadapan minimal 2 (dua) orang saksi dan saksi-saksi tersebut berikut seluruh ahli waris yang lain beritikad baik untuk menjalankan wasiat.
Kesimpulannya, sebuah wasiat lisan dapat saja diberlakukan, asal saja tidak ada sengketa di antara para ahli waris dan seluruh ahli waris memiliki itikad baik.
Bagaimana jika si permberi wasiat lisan (Ibu, karena suaminya sudah meninggal) mewasiatkannya ke pada adik kandung dan suami, Anak bawaan si pemberi wasiat dan ustadz ketua masjid setempat, apakah wasiat lisan tersebut sah?
Sebelum masuk kepada pembahasan tersebut kami asumsikan bahwa regulasi yang mengikat atas pertanyaan tersebut tunduk kepada Kompilasi Hukum Islam (KHI), kemudian sebelum menjawab pertanyaan tersebut perlu diketahui juga pengaturan mengenai Wasiat. Pada dasarnya pengaturan mengenai wasiat telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata sebagaimana tercantum dalam Pasal 875 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut :
Adapun yang dinamakan surat wasiat atau testamen ialah suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya kana terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut kembali.
Sehingga berdasarkan ketentuan pasal di atas pada dasarnya sebuah wasiat ialah suatu pernyataan tertulis yang disampaikan oleh seseorang yang mewariskan kepada seorang ahli waris tentang apa yang dikehendakinya setelah ia meninggal.
Kemudian mengenai keabsahan suatu wasiat lisan juga telah dijelaskan dalam artikel di atas sebagaimana tercantum dalam Pasal 195 KHI yang menyebutkan bahwa:
wasiat yang dilakukan secara lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi, atau tertulis dihadapan 2 (dua) orang saksi atau di hadapan Notaris. Serta Wasiat hanya diperolehkan sebanyak-banyaknya 1/3 dari seluruh harta warisan, kecuali jika disetujui oleh ahli waris. Bahwasannya menurut KHI, wasiat berlaku jika disetujui oleh semu ahli waris.
Adapun hal tersebut juga telah sesuai dengan Hadis Rasulullah yang menyebutkan :
Bahwa suatu ketika Rasulullah saw datang mengunjungi saya (Sa’ad bin Abi Waqas) pada tahun Hajji Wada’, kemudian saya bertanya kepada Rasulullah saw : Wahai Rasulullah! Sakitku telah demikian parah, sebagaimana engkau lihat, sedang saya ini orang berada, tetapi tidak ada yang dapat mewarisi hartakau selain seorang anak perempuan. Bolehkah aku bersedekah (berwasiat) dengan dua pertiga hartaku (untuk beramal)? Maka berkatalah Rasulullah saw. Kepadaku, “Jangan.” maka Sa’ad berkata kepada beliau, “bagaimana jika separuhnya?” Rasulullah saw. Berkata, “Jangan.” Kemudian Rasulullah berkata pula, ¬¬dan sepertiga itu banyak dan besar. Sesungguhnya apabila engkau meninggalkan ahli warismuu sebagai orang-orang kaya adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka sebagai orang-orang miskin yang meminta-minta kepada orang banyak (HR. Bukhari dan Muslim)
Sehingga berdasarkan penjelasan di atas apabila wasiat yang disampaikan secara lisan tersebut telah disaksikan oleh dua orang maka wasiat yang disampaikan secara lisan tersebut adalah sah.