Roda perekonomian negara tidak dapat berputar tanpa adanya kegiatan usaha. Dunia bisnis memiliki peran yang sangat besar terhadap perkembangan ekonomi nasional. Oleh karena itu, negara memastikan agar kegiatan bisnis dan persaingan usaha terjadi dengan sehat, agar tidak terjadi monopoli dan praktik-praktik merugikan lainnya.
Salah satu praktik yang cukup menjadi perhatian akhir-akhir adalah masalah predatory pricing atau juga disebut dengan istilah praktik jual rugi. Yang dimaksud dengan praktik predatory pricing ini pada dasarnya adalah dimana pelaku usaha menetapkan harga di bawah biaya produksi (merugi) demi menyingkirkan pesaing. Dengan demikian setelah para pesaingnya telah mati dan ia menguasai pasar, maka harga akan dinaikkan lebih tinggi dari harga pasar dan jauh dari harga produksi untuk meraup untung sebesar-besarnya. Dalam keadaan seperti ini, konsumen tidak punya pilihan lain selain membeli dari si pelaku usaha karena para kompetitornya telah mati.
Dengan demikian, dalam jangka pendek memang konsumen sangat diuntungkan dengan adanya pelaku usaha yang menjual produknya dengan harga sangat murah. Namun dalam jangka panjang, justru bisa sangat merugikan. Oleh karena itu, praktik sebagaimana di atas dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 20 yang berbunyi”
“Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan/atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”
Pelaku usaha yang melakukan hal sebagaimana di atas dapat dikenakan tindakan administratif oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha berupa perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktik monopoli, menyebabkan persaingan usaha tidak sehat, dan/atau merugikan masyarakat, sesuai ketentuan Pasal 47 ayat (2) UU No. 5/1999.
Ketentuan Pasal 20 jo. Pasal 47 ayat (2) UU No. 5/1999 di atas menunjukkan bahwa praktik predatory pricing termasuk kegiatan yang dilarang secara rule of reason. Maksudnya, perlu dipertimbangkan terlebih dahulu apakah tindakan si pelaku usaha memang menimbulkan hambatan persaingan usaha yang sehat. Pendekatan rule of reason diterapkan untuk tindakan-tindakan yang tidak dapat secara mudah dilihat unsur-unsur melawan hukumnya tanpa dilakukan analisis terlebih dahulu. Dengan demikian dalam menentukan predatory pricing, dipertimbangkan terlebih dahulu berbagai faktor seperti latar belakang dilakukannya tindakan, alasan bisnis, posisi pelaku dalam industri, serta dampak tindakan si pelaku usaha terhadap kelancaran persaingan usaha. Hal ini tercermin dari rumusan Pasal 20 UU No. 5/1999 yaitu dengan frasa “dapat mengakibatkan terjadinya”.
Misalnya dalam hal diskon besar-besaran yang dilakukan oleh berbagai platform e-commerce sehingga memunculkan istilah “bakar uang”. Banyak yang mengatakan bahwa tindakan para penyedia layanan e-commerce tersebut merupakan praktik predatory pricing dan menyingkirkan UMKM. Namun ada pula yang mengatakan bahwa praktik platform e-commerce justru tidak termasuk praktik predatory pricing. Hal ini menunjukkan bahwa untuk menentukan hal tersebut diperlukan pertimbangan secara menyeluruh. Dalam hal adanya dugaan praktik predatory pricing, pengadilan disyaratkan untuk mempertimbangkan berbagai faktor terkait tindakan tersebut.
Leave A Comment