Dalam penyelesaian perkara di Pengadilan, acara pembuktian menjadi hal terpenting untuk membuktikan kebenaran perkara, dari hal tersebut kita tahu bahwa keberadaan alat bukti membantu hakim untuk memperoleh dasar guna menjatuhkan putusan pada suatu perkara. Derasnya penggunaan teknologi informasi menimbulkan banyak kemajuan di segala bidang, oleh karena itu sudah seharusnya perkembangan teknologi tersebut di dukung oleh aturan dan perangkat hukum yang mengakomodirnya.
Menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata memberikan pengertian bahwa alat bukti adalah suatu hal berupa bentuk dan jenis yang dapat membentu dalam hal memberikan keterangan, dan penjelasan tentang sebuah masalah perkara, yakni untuk membantu penilaian hakim di pengadilan. Dalam hukum acara perdata ada lima jenis alat bukti yang sah yang diatur dalam Pasal 164 HIR/284 RBG Jo. Pasal 1866 KUH Perdata yaitu :
a. Alat bukti tertulis (surat);
b. Kesaksian (keterangan saksi);
c. Persangkaan-Persangkaan;
d. Pengakuan;
e. Sumpah.
Di Indonesia jenis alat bukti di atas merupakan alat bukti yang sah menurut Hukum pembuktian perdata, lalu bagaimana jika ada informasi atau dokumen elektronik yang ternyata dapat dijadikan bukti dalam persidangan? Apakah hal demikian telah diakomodir oleh hukum acara perdata di Indonesia? Untuk menjawabnya dapat kita lihat pada aturan dalam UU Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengatakan:
Pasal 5
1. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah;
2. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia;
3. Informasi ELektronik dan/atau dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
4. Ketentuan mengenai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Yang termasuk dalam Informasi elektronik dalam UU ITE tersebut ialah satu atau sekumpulan data elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, Electronic Data Interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Dari apa yang telah diuraikan tersebut pasal 6 UU ITE menjelaskan lebih rinci lagi, bahwa suatu informasi yang dimaksud tersebut haruslah berbentuk tertulis dan asli, informasi elektronik dan/atau dokumen elekronik tersebut dianggap sah sepanjang infromasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
Sehingga dapat simpulkan bentuk dari alat bukti elektronik tersebut dapat berbentuk informasi elektronik ataupun dokumen elektronik, adapun sebagaimana jika dicontohkan alat bukti elektronik tersebut ialah seperti video conferences, yang mana video tersebut dilakukan jika hendak meminta keterangan saksi yang hanya dapat hadir secara virtual, dari ketentuan dalam UU ITE di atas maka nantinya keterangan saksi yang dilangsungkan melalui video conferences tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti elektronik yang sah di pengadilan.
Dengan demikian sekarang kita mengetahui bahwa terdapat alat bukti yang sah lainnya yang diatur dalam undang-undang lain selain dari pada ketentuan yang diatur dalam Hukum Acara Perdata.
Leave A Comment