Dalam proses hukum acara pidana, kita mengenal adanya proses “Penyitaan”, dalam KUHAP penyitaan memiliki pengertian yang dimuat dalam Pasal 16 yaitu serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan/atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud dan tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan, sehingga dalam pelaksanaannya penyitaan harus dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang, selain itu pelaksanaannya juga diadakan pembatasan-pembatasan, yakni diantaranya keharusan adanya izin ketua pengadilan negeri setempat segaimana diatur dalam Pasal 38 KUHAP.

Selain itu tak jarang timbul pertanyaan yakni, jika dalam keadaan yang mendesak dan mengharuskan penyidik untuk melakukan penyitaan, apakah dimungkinkan harus mendapatkan surat izin ketua pengaadilan terlebih dahulu? Lalu apakah laporan yang diberikan kepada ketua pengadilan tersebut hanya berisfat formalitas? Dan bagaimana jika ketua pengadilan tidak menyetujui dilakukan penyitaan? Apakah benda yang sudah disita tersebut harus dikembalikan kepada tersangka?

Menjawab hal ini berdasarkan ketentuan dalam Pasal 38 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa :
“Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak, dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuan”

Dalam definisi KUHAP mengenai penyitaan tersebut, terdapat hal baru yang tidak terdapat dalam HIR, yaitu kemungkinan menyita benda yang tidak berwujud. Lalu bagaimana dengan penyitaan terhadap tagihan utang piutang dan lain-lain?

Pasal 39 ayat (1) KUHAP menjabarkan benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah :
1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atua sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
2. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
3. Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
4. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
5. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

Kemudian selain itu Pasal 39 ayat (2) KUHAP juga menyatakan bahwa benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailt dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan mengadili perkara pidana sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1). Selain itu untuk delik yang tertangkap tangan berlaku ketentuan khusus mengenai penyitaan. Pasal 40 KUHAP memakai istilah yang lebih luas yaitu, dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dipakai sebagai barang bukti.

Berkaitan dengan hal tersebut Pasal 41 KUHAP menjelaskan lebih lanjut bahwa dalam hal tertangkap tangan penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda tersebut diperuntukkan bagi tersangka atau yang berasal daripadanya dan untuk itu kepada tersangka dan atau kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan, harus diberikan surat tanda penerimaan, adapun pembatasan penyitaan surat yang dimaksud dalam Pasal 41 KUHAP ini diperjelas lagi dalam ketentuan Pasal 43 KUHAP.

Penjelasan penyitaan surat yang dapat disita tersebut ialah penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus ketua pengadilan negeri setempat kecuali undang-undang menentukan lain, sehingga dari seluruh penjelasan di atas dapat disimpulkan penyitaan juga memiliki batasan-batasan yang diatur dan dilindungi oleh undang-undang.

Bahwa barang-barang yang disita ialah barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh karena kejahatannya, dan barang-barang kepunyaan terpidana yang dengan sengaja telah dipakai untuk melakukan kejahatan.