Lagu atau musik yang kita dengar sehari-hari merupakan suatu karya cipta yang memiliki daya jual, oleh karena itu pihak pembuat yang menghasilkan karya tersebut memilki performing right (hak menampilkan) atas suatu karya ciptaannya. Dari segi keperdataan Performing Right dimaksud dapat ditinjau dari segi pemberian lisensinya kepada para pengguna (user) yang dilakukan dalam bentuk perjanjian pemberian lisensi.
Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta dijelaskan bahwa :
“Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Adapun penjelasannya mengatakan yang dimaksud dengan hak eksklusif adalah hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya. Dalam pengertian mengumumkan atau memperbanyak, termasuk kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun.
Seorang pencipta lagu atau musik merupakan seorang Pemegang Hak Cipta, dengan kata lain Pemegang Hak Cipta tersebut dapat dikatakan juga sebagai Pemegang Lisensi. Lisensi itu sendiri merupakan suatu pemberian izin untuk memanfaatkan suatu hak atas kekayaan intelektual yang dapat diberikan oleh pemberi linsensi kepada penerima lisensi, hal demikian bertujuan agar Penerima Lisensi dapat melakukan suatu kegiatan usaha untuk memproduksi, menjual, atau memasarkan karya tersebut dengan menggunakan hak atas kekayaan intelektual yang dilisensikan.
Pemberian lisensi tersebut pada dasarnya berfungsi sebagai bukti pemberian izin dari pemberi lisensi untuk menggunakan hak cipta yang dimilikinya. Dalam UU Hak Cipta, pengaturan pemberian lisensi diatur dalam Pasal 45 s/d 47 UU Hak Cipta. Suatu Perjanjian lisensi umumnya dibuat secara non eksklusif, yang mengandung arti bahwa Pencipta atau Pemegang Lisensi masih dapat mengalihkan hak ciptanya dengan memberikan lisensi yang sama kepada pihak lainnya hal tersebut dapat beralih atau dialihkan, dalam jenisnya peralihan lisensi terbagi menjadi 2 jenis yaitu :
1. Voluntary Licensing, yaitu perjanjian lisensi antara pencipta atau pemegang hak cipta dengan orang atau badan hukum yang akan menjadi penerima hak cipta, yang dilakukan secara sukarela.
2. Compulsary Licensing, yaitu sekiranya negara memandang perlu atau menilai bahwa suatu ciptaan sangat penting bagi kehidupan masyarakat, negara dapat mewajibkan pemegang hak cipta yang bersangkutan untuk menerjemahkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin/lisensi kepada pihak lain untuk itu.
Dari penjelasan tersebut peralihan linsensi sebagaimana dimaksud di atas, dapat terjadi dengan jalan sebagaimana tercantum dalam Pasal 16 ayat (1)UU Hak Cipta, baik melalui pewarisan, hibah, wakaf, wasiat, perjanjian tertulis, atau sebab lain yang dibenarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, oleh karena itu setiap orang yang memiliki suatu karya terhadapnya melekat suatu hak moral dan hak cipta, adapun jika ada pihak lain yang hendak menggunakan karya pemegang hak cipta tersebut kepadanya diberikan lisensi melalui perjanjian lisensi ataupun hal-hal lain sebagaimana disebutkan dalam Pasal 16 UU Hak Cipta di atas sehingga baik Pemegang Hak Cipta maupun pihak ketiga yang menggunakan karya tersebut sama-sama terlindungi sebagaimana ketentuan Pasal 82 ayat (3) UU Hak Cipta yang mengatakan :
“Perjanjian Lisensi dilarang menjadi sarana untuk menghilangkan atau mengambil alih seluruh hak Pencipta atas ciptaannya”
Leave A Comment