Salah satu ciri Hak Milik adalah bahwa hak tersebut dapat menjadi induk hak atas tanah yang lain, misalnya Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Sewa Untuk Bangunan, dan Hak Pakai. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut “UUPA”) menyebutkan bahwa hanya Warga Negara Indonesia (WNI) saja yang dapat menjadi subyek Hak Milik (vide Pasal 9 Jo. Pasal 21 UUPA).
Berdasarkan penjelasan di atas, dalam UUPA tersebut secara tegas menentukan bahwa WNA tidak dapat menjadi subyek Hak Milik (Vide Pasal 26 ayat (2)), akan tetapi dengan terbukanya peluang bagi WNA untuk tinggal dan bekerja di Indonesia, hal tersebut dapat menimbulkan pertanyaan mengenai apakah ada kemungkinan bagi WNA untuk memiliki hak atas bangunannya saja tanpa tanahnya? Oleh karena WNA bukan merupakan subyek dari Hak Milik maka sering timbul gagasan untuk memberikan WNA memiliki bangunannya saja, sedangkan tanahnya diserahkan dengan hak sewa untuk bangunan atau hak pakai.
Sebagai konsekuensi dari asas pemisahan horizontal, yakni pemilikan bangunan yang terpisah dari penguasaan tanahnya, maka dalam UUPA terhadap WNA dapat diberikan Hak Pakai sebagai hak atas tanah yang dimilikinya. Adapun pengertian dan aturan mengenai Hak Pakai tersebut dapat dilihat dalam :
Pasal 41 UUPA yang berbunyi :
1. Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
2. Hak Pakai dapat diberikan :
a) selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu;
b) dengan Cuma-Cuma, dengan pembayaran atau pemberi jasa berupa apapun.
3. Pemberian Hak Pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
Pasal 42 UUPA yang berbunyi :
Yang dapat mempunyai hak pakai ialah :
a) Warga Negara Indonesia;
b) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
c) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
d) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Pasal 43 UUPA yang berbunyi :
1. Sepanjang mengenai tanah yang langsung dikuasai oleh Negara maka hak pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang;
2. Hak pakai atas tanah milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.
Dari keseluruhan penjelasan pasal di atas dapat disimpulkan bahwa konstruksi yuridis untuk menyerahkan Hak Milik Kepada WNA dengan Hak Sewa Untuk Bangunan atau Hak Pakai adalah karena adanya asas pemisahan horizontal yang dianut oleh hukum tanah nasional Indonesia sebagaimana tertulis dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA :
“setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga Negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam Pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.”
Dari hal-hal tersebut di atas menunjukkan bahwa pada prinsipnya pemilikan bangunan terpisah dengan penguasaan tanahnya (khusus bagi WNA), dengan demikian kemungkinan bagi WNA untuk memiliki bangunan adalah dengan pemberian hak pakai oleh Negara yang wajib didaftarkan melalui ketentuan Peraturan Menteri Agraria No. 1 Tahun 1996. Lalu bagaimana dengan kemungkinan bagi WNA untuk memiliki satuan rumah susun? Jika pada dasarnya rumah susun didirikan di atas tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Milik, jelas WNA tidak dapat memilikinya, dengan demikian satu-satunya kemungkinan bagi WNA untuk memiliki Satuan Rumah Susun tersebut ialah di atas tanah hak pakai, (vide Pasal 47 ayat (1) UU 20/2011 Tentang Rumah Susun), adapun jika perusahaan yang bergerak di bidang pembangunan rumah susun tersebut dikuasai dengan hak pengelolaan untuk menyelesaikan status hak guna bangunannya sebelum menjual ke pihak ketiga (WNA) maka dapat ditempuh dengan prosedur pelepasan Hak Gunan Bangunan untuk kemudian dimohonkan Hak Pakai.
Di sisi lain adapun ketentuan lain yang menyebutkan penguasaan tanah oleh WNA ialah Pasal 2 angka 1 huruf b PP 41/1996 Tentang Pemilikan Rumah Tinggal atau Hunian Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia Mengatur tentang Keberadaan Orang Asing Yang Berdomisili dan Berkedudukan di Indonesia Dalam Waktu Tertentu, yakni :
“WNA dapat memiliki rumah yang berdiri sendiri di atas bidang tanah Hak Pakai atas Tanah Negara (HTPN) atau di atas bidang tanah yang dikuasai berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak atas tanah. Perjanjian tersebut harus dalam bentuk tertulis dengan akta PPAT dan wajib didaftarkan (Pasal 3 dan Pasal 4).
Leave A Comment