Salah satu hasil perkembangan teknologi informasi adalah transaksi jual beli yang dilakukan melalui media elektronik dengan jaringan internet atau yang dikenal juga dengan e-commerce. Electronic Commerce (e-commerce) adalah proses pembelian, penjualan dan pertukaran produk, jasa dan informasi melalui jaringan komputer. Media e-commerce melibatkan penggunaan internet, world wide web, dan aplikasi pada smartphone. Karakter industri komunikasi yang mencakup jaringan internet ini memungkinkan pelaku usaha untuk bertransaksi dengan siapa saja dan di mana saja. Terlebih lagi di masa Pandemi Covid-19 saat ini seluruh masyarakat diharuskan untuk berada di rumah sehingga dengan adanya e-commerce ini maka setiap orang tidak perlu bertemu langsung untuk membeli apa yang mereka butuhkan.
Dasar hukum e-commerce di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). UU ITE ini bagi transaksi e–commerce adalah untuk :
- Pengakuan transaksi, informasi, dokumen dan tanda tangan elektronik dalam kerangka hukum perikatan dan hukum pembuktian, sehingga kepastian hukum transaksi elektronik terjamin.
- Diklasifikasikannya tindakan-tindakan yang termasuk kualifikasi pelanggaran hukum terkait penyalahgunaan teknologi informasi disertai dengan sanksi pidananya.
Perjanjian yang dipakai dalam aktivitas e-commerce pada dasarnya sama dengan perjanjian yang dilakukan dalam transaksi konvensional, akan tetapi perjanjian yang dipakai dalam e-commerce merupakan perjanjian yang dibuat secara elektronik atau melalui sistem elektronik (Pasal 1 Angka 17 UU ITE).
Bisnis e-commerce saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat karena selalu bertambahnya situs belanja online di Indonesia. Dalam sistem belanja online, ketika seorang konsumen memutuskan untuk membeli suatu produk, maka tidak dapat dihindari adanya resiko yang dapat terjadi dan diterima oleh konsumen tersebut. Resiko yang dimaksud berupa bentuk kecurangan-kecurangan, misalnya pada virtual store yang bersangkutan merupakan toko fiktif, terjadi keterlambatan pengiriman kepada konsumen, adanya kerusakan/cacat atas barang yang dikirimkan, kondisi barang yang diterima tidak sesuai dengan apa yang ditawarkan di internet, dan hal-hal lainnya yang mungkin saja terjadi.
Jaminan akan kepastian hukum bagi konsumen dalam melakukan transaksi e-commerce diperlukan untuk menumbuhkan kepercayaan konsumen. Untuk melindungi kerugian-kerugian tersebut maka perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada konsumen ada di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Dalam UUPK mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen, diantaranya:
Pasal 4
Hak-Hak Konsumen :
- Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
- Hak untuk memilih serta mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
- Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur;
- Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya;
- Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
- Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
- Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
- Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Pasal 5
Kewajiban-Kewajiban Konsumen :
- Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
- Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
- Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
- Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Selain itu, secara lebih jelas dalam pasal 8 dan 9 UUPK diatur mengenai beberapa perbuatan yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha, dalam hal ini adalah memperdagangkan barang dan/jasa yang tidak sesuai dengan syarat-syarat yang diatur dalam pasal tersebut. Dalam pasal 16 UUPK dikatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/jasa melalui pesanan dilarang untuk:
- Tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan.
- Tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.
Selanjutnya dalam pasal 19 UUPK juga mengatur tentang ganti kerugian terhadap produk cacat, dimana barang yang cacat merupakan tanggung jawab produsen/pelaku usaha. Hal tersebut diatur secara jelas dalam Ketentuan Bab VI tentang Tanggungjawab Pelaku Usaha.
Regulasi lainnya yang mengatur secara khusus tentang transaksi perdagangan elektronik atau e-commerce adalah Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2019 (PP 80/2019) Tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. PP ini mengatur tentang para pihak yang melakukan kegiatan melalui sistem elektronik, diantaranya :
- Pengertian dan Lingkup Pengaturan Perdagangan
- Persyaratan Perdagangan
- Penyelenggaran Perdagangan
- Kewajiban Pelaku Usaha Perdagangan
- Bukti Transaksi Perdagangan
- Iklan Elektronik
- Penawaran, Penerimaan dan Konfirmasi
- Kontrak Elektronik
- Perlindungan Terhadap Data Pribadi
- Pembayaran Dalam Perdagangan
- Pengiriman Barang dan Jasa
- Penukaran Barang Atau Jasa Dan Pembatalan Pembelian Dalam Perdagangan
- Penyelesaian Sengketa Perdagangan
- Pembinaan dan Pengawasan
- Sanksi Administratif
PP 80/2019 juga mengatur jika kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik merugikan konsumen, maka konsumen dapat melaporkan kerugiannya kepada Menteri (yang menyelenggarakan urusan di bidang Perdagangan) dan pelaku usaha yang dilaporkan harus menyelesaikan pelaporan tersebut. Jika tidak dilakukan, maka pelaku usaha dapat dimasukkan dalam Daftar Prioritas Pengawasan oleh Menteri yang dapat diakses oleh publik.
Dengan demikian, terkait dengan perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada konsumen dalam kegiatan e-commerce mengacu pada UU ITE, UUPK, dan PP 80/2019 di atas.
Leave A Comment